

Zakaria Pangaribuan
seniman multidisiplin dari Kalimantan Barat, yang berfokus pada pengelolaan simbolisme visual tradisi Dayak dalam menciptakan karya-karya seperti seni lukis, animasi, patung dan instalasi. Baginya, tradisi Dayak memiliki peran penting dalam ilmu sosial, kepercayaan, hukum, dan akhlak adat serta adat istiadat terkait pendekatan Antroposen sebagai ruang dalam menciptakan karyanya. Zakaria fokus membahas isu Ekologi, hilangnya pengetahuan lokal dan hibriditas dalam Narasi Penciptaan Karya.


Daynamic of Haring
mix medium
180x130cm (2025)
Dynamic of Haring adalah instalasi yang terinspirasi dari Batang Garing Pohon Kehidupan dalam kosmologi Dayak yang melambangkan keseimbangan antara manusia, alam, dan pencipta. Dulu, hutan dipandang sebagai ayah, tanah sebagai ibu, dan sungai sebagai darah kehidupan. Namun kini, modernisasi mengikis pandangan ini: hutan menjadi kebun sawit, sungai dieksploitasi tambang emas, dan tanah diubah menjadi kawasan pembangunan seperti Ibu Kota Nusantara.
Karya ini merefleksikan ketidakseimbangan ekologis dan budaya melalui simbol visual: kepala enggang (hubungan spiritual), alat berat (invasi modern), dan batang pohon terfragmentasi (harmoni yang hilang). Lukisan di atas kanvas berbentuk atap rumah menggambarkan perlawanan masyarakat adat, dengan simbol api sebagai semangat yang terus menyala.
Dynamic of Haring menjadi pengingat pentingnya kearifan lokal sebagai jalan menuju masa depan yang berkelanjutan, serta ruang dialog antara tradisi dan kemajuan. Ia menyerukan kesadaran kolektif untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam di tengah perubahan zaman.


Daynamic of Haring
mix medium
180x130cm (2025)
Dynamic of Haring adalah instalasi yang terinspirasi dari Batang Garing Pohon Kehidupan dalam kosmologi Dayak yang melambangkan keseimbangan antara manusia, alam, dan pencipta. Dulu, hutan dipandang sebagai ayah, tanah sebagai ibu, dan sungai sebagai darah kehidupan. Namun kini, modernisasi mengikis pandangan ini: hutan menjadi kebun sawit, sungai dieksploitasi tambang emas, dan tanah diubah menjadi kawasan pembangunan seperti Ibu Kota Nusantara.
Karya ini merefleksikan ketidakseimbangan ekologis dan budaya melalui simbol visual: kepala enggang (hubungan spiritual), alat berat (invasi modern), dan batang pohon terfragmentasi (harmoni yang hilang). Lukisan di atas kanvas berbentuk atap rumah menggambarkan perlawanan masyarakat adat, dengan simbol api sebagai semangat yang terus menyala.
Dynamic of Haring menjadi pengingat pentingnya kearifan lokal sebagai jalan menuju masa depan yang berkelanjutan, serta ruang dialog antara tradisi dan kemajuan. Ia menyerukan kesadaran kolektif untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam di tengah perubahan zaman.
