M Ozy Trianda

seniman asal Bengkayang yang berfokus pada penciptaan karya bernarasi mental health, berangkat dari pengalaman pribadi maupun realitas emosional masyarakat luas. Selain menyoroti isu kerentanan dan proses penyembuhan diri, Oozy juga mengintegrasikan eksplorasi tentang tumbuhan alam sebagai simbol keseimbangan, ketahanan, dan hubungan manusia dengan lingkungan.

Pendekatan visualnya yang reflektif dan empatik menjadikan karya-karyanya ruang dialog mengenai kesehatan mental, alam, serta keterhubungan keduanya dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

Tempuan

Mix media

80x80x80cm (2025)

Karya “Tempuan” adalah refleksi visual dan emosional atas tragedi kebakaran hutan yang menghancurkan jutaan hektar paru-paru dunia, merenggut nyawa, dan mengancam keberlangsungan makhluk hidup. Hutan bukan sekadar pepohonan, melainkan urat nadi kehidupan, sumber oksigen, rumah keanekaragaman hayati, dan penopang ekosistem yang rapuh. Karya ini menangkap kepiluan saat api mengubah kehijauan menjadi abu, dengan batang pohon hangus bak nisan, melambangkan kehancuran. Figur tanaman dan hewan endemik Kalimantan menonjolkan keindahan hutan yang kini terancam.

“Tempuan” mengajak perenungan: apa yang tersisa pasca-api padam, dan bagaimana jika api tak pernah menyala? Bagaimana mengembalikan kehidupan pada lahan yang telah jadi gurun? Karya ini menjadi peringatan akan dampak kelalaian manusia yang tak terpulihkan, sekaligus seruan untuk bertindak. Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan. Karya ini menggugah untuk menyatukan langkah, menghidupkan harapan, menanam kembali mimpi, dan memastikan jantung rimba berdetak lagi. Kehancuran hutan adalah kehancuran kita bersama.

Tempuan

Mix media

80x80x80cm (2025)

Karya “Tempuan” adalah refleksi visual dan emosional atas tragedi kebakaran hutan yang menghancurkan jutaan hektar paru-paru dunia, merenggut nyawa, dan mengancam keberlangsungan makhluk hidup. Hutan bukan sekadar pepohonan, melainkan urat nadi kehidupan, sumber oksigen, rumah keanekaragaman hayati, dan penopang ekosistem yang rapuh. Karya ini menangkap kepiluan saat api mengubah kehijauan menjadi abu, dengan batang pohon hangus bak nisan, melambangkan kehancuran. Figur tanaman dan hewan endemik Kalimantan menonjolkan keindahan hutan yang kini terancam.

“Tempuan” mengajak perenungan: apa yang tersisa pasca-api padam, dan bagaimana jika api tak pernah menyala? Bagaimana mengembalikan kehidupan pada lahan yang telah jadi gurun? Karya ini menjadi peringatan akan dampak kelalaian manusia yang tak terpulihkan, sekaligus seruan untuk bertindak. Menjaga hutan berarti menjaga kehidupan. Karya ini menggugah untuk menyatukan langkah, menghidupkan harapan, menanam kembali mimpi, dan memastikan jantung rimba berdetak lagi. Kehancuran hutan adalah kehancuran kita bersama.