Kuratorial Art Borneo 2025
M Faozi Yunanda M.Pd.“
Eksplorasi Seni Rupa Kontemporer Dalam Kesadaran Ekologis Bersama (Masalah) : “Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian ”
Dalam lanskap seni rupa kontemporer, eksplorasi terhadap isu ekologi semakin banyak mendapatkan konsentrasi dan tempat yang signifikan. Krisis lingkungan yang kian nyata mulai dari deforestasi, pencemaran air, perubahan iklim dan kerusakan-kerusakan lain yang dirasakan langsung dampaknya, mendorong para seniman untuk merefleksikan keterkaitan antara manusia dan alam melalui praktik artistik mereka. Seni rupa kontemporer yang menjadi ruang refleksi atau cerminan atas respon dari perkembangan zaman dalam disiplin budaya, teknologi, dan isu-isu sosial dirasa sangat ideal sebagai wadah untuk menampung tumpah ruahnya kreatifitas dalam proses penciptaan karya seni rupa dalam pameran ini. Eksplorasi dalam seni rupa kontemporer membuka kemungkinan baru dalam cara seni diproduksi, dinikmati, dan dipahami. Hal ini memberikan ruang luas bagi upaya seniman untuk menembus batasan konvensional dengan mengeksplorasi berbagai medium, teknik, konsep, dan makna dalam karyanya.
Tajuk "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" menjadi titik temu antara kesadaran ekologis dan representasi visual, membuka ruang bagi diskusi mengenai bagaimana seni dapat mengartikulasikan dinamika konsumsi dan dampaknya terhadap lingkungan. Dalam konteks "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" konsumsi tidak hanya dipahami sebagai aktivitas ekonomi manusia, tetapi juga sebagai sebuah tindakan yang memiliki dampak sistemik terhadap ekosistem global. Melalui "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" seni juga berperan sebagai kritik terhadap pola konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Kapitalisme global telah menciptakan budaya konsumsi yang masif dan agitatif, yang sering kali mengabaikan dampak lingkungan. Para seniman menampilkan bagaimana konsumsi berlebihan menciptakan ketimpangan ekologi, menghasilkan limbah, dan mempercepat degradasi lingkungan. Seniman menghadirkan praktik visual yang mempertanyakan ketergantungan manusia terhadap eksploitasi sumber daya, membingkai ulang konsumsi sebagai suatu sikap yang dapat dikendalikan atau bahkan diredefinisi yang
menciptakan kesadaran lebih mendalam mengenai dampak ekologis dari keputusan sehari-hari.
Masalah-masalah tersebut menjadi magnet yang menarik subjek-subjek untuk untuk saling terhubung Ketika meresponnya ke dalam medium seni khususnya seni rupa. Realitas yang telah dijabarkan diatas akan dilemparkan untuk disambut dengan bebas oleh seniman-seniman yang ada di Malaysia dan Brunei Darussalam. Persoalan tentang apakah kemudian masalah tersebut kontekstual dan related dengan kondisi negara mereka masing-masing itu sudah lebur oleh konsep mendalam soal keterhubungan yang membungkus persoalan ini, kemudian tumbuh menjadi keresahan bersama yang direpresentasikan lewat karya seni secara bebas dengan pegangan esensi yang kuat untuk menyampaikan pesan dan kritik. Namun, Seni rupa bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan kritik, tetapi juga medium untuk membayangkan kemungkinan masa depan yang lebih berkelanjutan. Melalui narasi visual yang kuat, seni dapat menggugah kesadaran kolektif dan menginspirasi perubahan perilaku. Seniman yang bekerja dalam kerangka "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" tidak hanya menawarkan wacana tentang krisis lingkungan, tetapi juga menghadirkan pesan-pesan alternatif terhadap pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Dalam era di mana ekologi menjadi isu mendesak, seni rupa memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi.
Dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam praktik artistik, seni dapat menjadi wahana refleksi, kritik, sekaligus harapan bagi hubungan manusia dan alam yang lebih harmonis.
Catriona Maddocks“
Karya Seni dari Malaysia: Akar
Menghimpun seniman dari tiga wilayah utama Malaysia Sabah, Sarawak, dan Semenanjung pameran Akar menyoroti isu-isu seperti akses terhadap lahan, kehilangan ekologi, marginalisasi politik, dan pengetahuan adat. Karya-karya yang ditampilkan mengungkapkan betapa eratnya keterkaitan antara politik ingatan dengan tempat, identitas, dan kenyataan kolektif masa kini. Tersirat dalam tiap karya adalah rasa nostalgia bukan nostalgia yang romantis atau sentimental, melainkan nostalgia kritis yang mempertanyakan bagaimana sejarah dijaga, siapa yang menjaganya, dan apa yang hilang ketika ingatan kolektif terkikis serta sumber daya dieksploitasi. Melalui medium kain, ilustrasi, cetak, film, fotografi, dan tanah itu sendiri, pengetahuan leluhur ditampilkan bukan sebagai arsip yang beku, melainkan sebagai ruang hidup yang terus diperjuangkan—sebagai jangkar dan sekaligus jalan menuju perlawanan. Dalam karya-karya ini, warisan budaya menjelma menjadi bentuk protes, yang mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan yang muncul melalui tindakan mengingat, membentuk ulang, dan membayangkan kembali.
Elroy Ramantan“
Living Borders, Breathing Worlds menghadirkan enam seniman Brunei yang karyanya mengeksplorasi tema-tema yang saling terkait antara ekologi, identitas, dan ingatan. Melalui medium seni visual, film, kolase, dan ilustrasi, pameran ini menampilkan karya Dystopia Through the Screen oleh Iman Shamsuddin, Heart Break of Borneo oleh Elroy Ramantan, Creator II oleh Maziyah Yussof, Roots Unveiled oleh Halim Ashari, The Sultanate of Tranquility oleh Bella Kasnon, serta The Botanical Map of Borneo oleh Susannah Anak Rogo Sitai Liew. Dikurasi oleh Elroy Ramantan, pameran ini memandang isu lingkungan bukan sekadar persoalan ekologi, melainkan sebagai dialog hidup yang mencakup budaya, politik, dan perjuangan untuk bertahan. Para seniman ini dipilih karena keberanian mereka dalam menghadapi isu-isu seperti perpindahan paksa, penghapusan budaya, dan pembangunan berlebihan, sambil tetap menghormati warisan ekologi dan budaya adat Brunei yang kaya.Karya-karya mereka merefleksikan lingkungan sebagai ruang untuk merasa memiliki sekaligus sebagai bentuk perlawanan: dari distorsi dunia digital hingga deforestasi di Borneo; dari simbolisme spiritual dan transisi budaya hingga lenyapnya spesies dan pengetahuan secara diam-diam. Bersama-sama, mereka menantang kita untuk melihat alam bukan sebagai alam liar yang jauh, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas manusia, ingatan, dan perjuangan hidup.
Kuratorial Art Borneo 2025
M Faozi Yunanda M.Pd.“
Eksplorasi Seni Rupa Kontemporer Dalam Kesadaran Ekologis Bersama (Masalah) : “Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian ”
Dalam lanskap seni rupa kontemporer, eksplorasi terhadap isu ekologi semakin banyak mendapatkan konsentrasi dan tempat yang signifikan. Krisis lingkungan yang kian nyata mulai dari deforestasi, pencemaran air, perubahan iklim dan kerusakan-kerusakan lain yang dirasakan langsung dampaknya, mendorong para seniman untuk merefleksikan keterkaitan antara manusia dan alam melalui praktik artistik mereka. Seni rupa kontemporer yang menjadi ruang refleksi atau cerminan atas respon dari perkembangan zaman dalam disiplin budaya, teknologi, dan isu-isu sosial dirasa sangat ideal sebagai wadah untuk menampung tumpah ruahnya kreatifitas dalam proses penciptaan karya seni rupa dalam pameran ini. Eksplorasi dalam seni rupa kontemporer membuka kemungkinan baru dalam cara seni diproduksi, dinikmati, dan dipahami. Hal ini memberikan ruang luas bagi upaya seniman untuk menembus batasan konvensional dengan mengeksplorasi berbagai medium, teknik, konsep, dan makna dalam karyanya.
Tajuk "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" menjadi titik temu antara kesadaran ekologis dan representasi visual, membuka ruang bagi diskusi mengenai bagaimana seni dapat mengartikulasikan dinamika konsumsi dan dampaknya terhadap lingkungan. Dalam konteks "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" konsumsi tidak hanya dipahami sebagai aktivitas ekonomi manusia, tetapi juga sebagai sebuah tindakan yang memiliki dampak sistemik terhadap ekosistem global. Melalui "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" seni juga berperan sebagai kritik terhadap pola konsumsi yang tidak berkelanjutan.
Kapitalisme global telah menciptakan budaya konsumsi yang masif dan agitatif, yang sering kali mengabaikan dampak lingkungan. Para seniman menampilkan bagaimana konsumsi berlebihan menciptakan ketimpangan ekologi, menghasilkan limbah, dan mempercepat degradasi lingkungan. Seniman menghadirkan praktik visual yang mempertanyakan ketergantungan manusia terhadap eksploitasi sumber daya, membingkai ulang konsumsi sebagai suatu sikap yang dapat dikendalikan atau bahkan diredefinisi yang
menciptakan kesadaran lebih mendalam mengenai dampak ekologis dari keputusan sehari-hari.
Masalah-masalah tersebut menjadi magnet yang menarik subjek-subjek untuk untuk saling terhubung Ketika meresponnya ke dalam medium seni khususnya seni rupa. Realitas yang telah dijabarkan diatas akan dilemparkan untuk disambut dengan bebas oleh seniman-seniman yang ada di Malaysia dan Brunei Darussalam. Persoalan tentang apakah kemudian masalah tersebut kontekstual dan related dengan kondisi negara mereka masing-masing itu sudah lebur oleh konsep mendalam soal keterhubungan yang membungkus persoalan ini, kemudian tumbuh menjadi keresahan bersama yang direpresentasikan lewat karya seni secara bebas dengan pegangan esensi yang kuat untuk menyampaikan pesan dan kritik. Namun, Seni rupa bukan hanya sekadar alat untuk menyampaikan kritik, tetapi juga medium untuk membayangkan kemungkinan masa depan yang lebih berkelanjutan. Melalui narasi visual yang kuat, seni dapat menggugah kesadaran kolektif dan menginspirasi perubahan perilaku. Seniman yang bekerja dalam kerangka "Konsumsi Ekologi Non-Utilitarian" tidak hanya menawarkan wacana tentang krisis lingkungan, tetapi juga menghadirkan pesan-pesan alternatif terhadap pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab. Dalam era di mana ekologi menjadi isu mendesak, seni rupa memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi.
Dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam praktik artistik, seni dapat menjadi wahana refleksi, kritik, sekaligus harapan bagi hubungan manusia dan alam yang lebih harmonis.
Catriona Maddocks“
Karya Seni dari Malaysia: Akar
Menghimpun seniman dari tiga wilayah utama Malaysia Sabah, Sarawak, dan Semenanjung pameran Akar menyoroti isu-isu seperti akses terhadap lahan, kehilangan ekologi, marginalisasi politik, dan pengetahuan adat. Karya-karya yang ditampilkan mengungkapkan betapa eratnya keterkaitan antara politik ingatan dengan tempat, identitas, dan kenyataan kolektif masa kini. Tersirat dalam tiap karya adalah rasa nostalgia bukan nostalgia yang romantis atau sentimental, melainkan nostalgia kritis yang mempertanyakan bagaimana sejarah dijaga, siapa yang menjaganya, dan apa yang hilang ketika ingatan kolektif terkikis serta sumber daya dieksploitasi. Melalui medium kain, ilustrasi, cetak, film, fotografi, dan tanah itu sendiri, pengetahuan leluhur ditampilkan bukan sebagai arsip yang beku, melainkan sebagai ruang hidup yang terus diperjuangkan—sebagai jangkar dan sekaligus jalan menuju perlawanan. Dalam karya-karya ini, warisan budaya menjelma menjadi bentuk protes, yang mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan yang muncul melalui tindakan mengingat, membentuk ulang, dan membayangkan kembali.
Elroy Ramantan“
Living Borders, Breathing Worlds menghadirkan enam seniman Brunei yang karyanya mengeksplorasi tema-tema yang saling terkait antara ekologi, identitas, dan ingatan. Melalui medium seni visual, film, kolase, dan ilustrasi, pameran ini menampilkan karya Dystopia Through the Screen oleh Iman Shamsuddin, Heart Break of Borneo oleh Elroy Ramantan, Creator II oleh Maziyah Yussof, Roots Unveiled oleh Halim Ashari, The Sultanate of Tranquility oleh Bella Kasnon, serta The Botanical Map of Borneo oleh Susannah Anak Rogo Sitai Liew. Dikurasi oleh Elroy Ramantan, pameran ini memandang isu lingkungan bukan sekadar persoalan ekologi, melainkan sebagai dialog hidup yang mencakup budaya, politik, dan perjuangan untuk bertahan. Para seniman ini dipilih karena keberanian mereka dalam menghadapi isu-isu seperti perpindahan paksa, penghapusan budaya, dan pembangunan berlebihan, sambil tetap menghormati warisan ekologi dan budaya adat Brunei yang kaya.Karya-karya mereka merefleksikan lingkungan sebagai ruang untuk merasa memiliki sekaligus sebagai bentuk perlawanan: dari distorsi dunia digital hingga deforestasi di Borneo; dari simbolisme spiritual dan transisi budaya hingga lenyapnya spesies dan pengetahuan secara diam-diam. Bersama-sama, mereka menantang kita untuk melihat alam bukan sebagai alam liar yang jauh, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas manusia, ingatan, dan perjuangan hidup.
