Hardiyanti

Hardiyanti adalah seorang pengamat budaya yang berbasis di Kapuas Hulu, dengan ketertarikan mendalam terhadap kekayaan warisan budaya Nusantara, terutama ritual padi, tenun, dan kerajinan anyaman. Melalui pengamatan langsung, riset mandiri, serta pendokumentasian berbagai praktik budaya, ia berupaya memperkuat kolaborasi strategis antara masyarakat adat, seniman, lembaga pendamping, komunitas, dan akademisi. Tujuannya adalah untuk melestarikan, memajukan, dan memperkenalkan warisan budaya yang bernilai tinggi kepada khalayak luas

Cosmic Loom

Kain Tenun Ibu Biti Dayak Iban

40x40cm

Tenun Iban bukan sekadar hasil keterampilan, melainkan warisan spiritual yang merentang antara khayangan, bumi, dan alam baka. Diajarkan oleh Dewi Jawai Indae Mendae (Kumang), menenun bagi perempuan Iban adalah laku Rohani, sebuah ritual batin yang diawali dengan mantra dan persembahan, menghubungkan penenun dengan leluhur dan alam.

Penenun berbakat dipercaya menerima anugerah batu empelawa yang menjadikan tangan mereka lincah, mampu membuat tenun dengan motif yang rumit tanpa meniru. Setiap helai benang menyimpan kisah, doa, dan kekuatan, menjadikan kain tenun sebagai media perantara antara manusia, alam, dan leluhur.

Namun, keindahan ini perlahan menghadapi tantangan. Sejak 1990-an, perubahan lanskap wilayah adat Iban di utara Kapuas Hulu, termasuk kehadiran aktivitas industri seperti penebangan dan monokultur, mulai mempengaruhi keseimbangan yang telah lama dijaga. Menjelang perpindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan, tekanan terhadap kawasan hutan adat semakin nyata. Keanekaragaman hayati, yang menjadi sumber penting bagi warna alami tenun pun kini mulai tergerus.

Cosmic Loom

Kain Tenun Ibu Biti Dayak Iban

40x40cm

Tenun Iban bukan sekadar hasil keterampilan, melainkan warisan spiritual yang merentang antara khayangan, bumi, dan alam baka. Diajarkan oleh Dewi Jawai Indae Mendae (Kumang), menenun bagi perempuan Iban adalah laku Rohani, sebuah ritual batin yang diawali dengan mantra dan persembahan, menghubungkan penenun dengan leluhur dan alam.

Penenun berbakat dipercaya menerima anugerah batu empelawa yang menjadikan tangan mereka lincah, mampu membuat tenun dengan motif yang rumit tanpa meniru. Setiap helai benang menyimpan kisah, doa, dan kekuatan, menjadikan kain tenun sebagai media perantara antara manusia, alam, dan leluhur.

Namun, keindahan ini perlahan menghadapi tantangan. Sejak 1990-an, perubahan lanskap wilayah adat Iban di utara Kapuas Hulu, termasuk kehadiran aktivitas industri seperti penebangan dan monokultur, mulai mempengaruhi keseimbangan yang telah lama dijaga. Menjelang perpindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan, tekanan terhadap kawasan hutan adat semakin nyata. Keanekaragaman hayati, yang menjadi sumber penting bagi warna alami tenun pun kini mulai tergerus.