Elroy Ramantan

Elroy Ramantan (lahir di Brunei) adalah seorang seniman dan kurator yang berfokus pada advokasi budaya dan penguatan identitas-identitas yang terpinggirkan. Melalui fotografi, media campuran, dan instalasi berbasis komunitas, ia mendokumentasikan serta menantang narasi dominan seputar keberadaan tanpa kewarganegaraan, keindigenan, migrasi, dan aksesibilitas—berdasarkan pengalaman hidupnya di Brunei dan wilayah Borneo. Elroy mendirikan Minority Agenda, sebuah inisiatif yang menggunakan seni sebagai alat perubahan sosial. Pamerannya seperti Art for Change: Palestine dan The Dan Lain Lain Exhibition menjadi intervensi budaya terhadap isu-isu yang sering dibungkam.

”Heart Break of Borneo” (2022)

Concept: Collage Art Medium: Digital Art Dimensions: 42.0 cm by 59.4 cm Year: 2022

Heart Break of Borneo” mengambil judulnya dari inisiatif “Heart of Borneo”, sebuah janji konservasi oleh Brunei, Malaysia, dan Indonesia untuk melindungi hutan hujan di pulau Borneo. Karya seni ini secara kuat menggambarkan kehancuran fisik yang disebabkan oleh batas-batas nasional, menyoroti perbedaan mencolok dalam tingkat deforestasi di seluruh Kalimantan. Meskipun batas negara adalah konstruksi sosial, dampaknya terlihat secara nyata: satu sisi bisa hancur karena penebangan dan perkebunan kelapa sawit, sementara sisi lainnya tetap relatif tidak tersentuh.

Karya ini menyoroti penderitaan masyarakat adat yang, meskipun menjadi penjaga awal wilayah ini, menghadapi pengusiran dan kehilangan tanah leluhur mereka. Pemerintah nasional mengklaim sebagian besar hutan hujan, sering kali menjual tanah adat kepada perusahaan untuk dieksploitasi. Karya ini menekankan bagaimana tanah-tanah yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat adat secara sistematis dirampas, mengganggu cara hidup tradisional mereka.

Selain itu, “Heart Break of Borneo” juga mengangkat lapisan tragedi tambahan yang dihadapi oleh suku-suku nomaden, yang identitas budayanya terancam oleh keberadaan batas-batas ini. Migrasi paksa sering kali menyebabkan status tanpa kewarganegaraan, karena banyak masyarakat adat tidak diakui oleh pemerintah nasional. Karya ini menjadi komentar menyentuh terhadap kerusakan lingkungan dan budaya yang disebabkan oleh batas-batas sewenang-wenang, serta menjadi seruan untuk hak dan pengakuan bagi komunitas-komunitas yang terpinggirkan ini.