Bethany Balan

Arsitektur asal Kalimantan Timur yang berfokus pada eksplorasi arsitektur rewilding serta praktik perancangan ruang yang selaras dengan alam, budaya, dan material lokal. Dalam karyanya, Aulia menggabungkan pendekatan ekologis dengan pengalaman inderawi, menghadirkan ruang-ruang yang hidup, adaptif, dan berakar pada konteks lingkungan. Selain berkarya, ia juga aktif mengajar dan membagikan pengetahuan mengenai desain berkelanjutan, hubungan manusia–alam, serta potensi material lokal sebagai bagian dari upaya membangun masa depan ruang yang lebih harmonis.

Bethany Balan

Ingen

Mix Media 

85x182cm (2024)

Sebagai seorang Kayan, saya percaya bahwa dunia alam tidak terpisahkan dari kebudayaan. Ketika pengetahuan adat mulai hilang, kita juga kehilangan resep-resep kearifan untuk merawat lingkungan. Setiap elemen dalam karya ini mencerminkan kegelisahan saya terhadap masa depan: sebuah ingen keranjang besar dalam bahasa Kayan yang biasa digunakan untuk membawa hasil panen dari ladang yang kosong dan terbalik, dengan tulang-tulang rapuh serta tiruan hasil bumi yang kasar tumpah keluar darinya.

Benang sulam yang diwarnai dengan kulit bawang, bunga rosela, dan kopi, lambat laun akan memudar. Stoples kecil berisi tanah yang menjangkar karya ini di sisi kiri dan kanan—Santubong di Barat, Sungai Asap di Timur. Manik-manik tanah liat tak berglasir dari Lawas tetap mentah dan belum selesai. Representasi kasar durian, engkabang, dan lada hitam tampak seolah digambarkan berdasarkan ingatan atau cerita, bukan dari pengalaman langsung.

Namun, tak ada yang benar-benar mati sebelum kita berhenti membicarakannya—atau menciptakannya kembali. Mungkin inilah cara saya membayangkan masa depan yang saya rindukan: masa depan di mana pengetahuan dan nilai-nilai masyarakat adat tidak hanya diakui, tetapi dihormati, hidup, dan terus menyala.

Ingen

Mix Media 

85x182cm (2024)

Sebagai seorang Kayan, saya percaya bahwa dunia alam tidak terpisahkan dari kebudayaan. Ketika pengetahuan adat mulai hilang, kita juga kehilangan resep-resep kearifan untuk merawat lingkungan. Setiap elemen dalam karya ini mencerminkan kegelisahan saya terhadap masa depan: sebuah ingen keranjang besar dalam bahasa Kayan yang biasa digunakan untuk membawa hasil panen dari ladang yang kosong dan terbalik, dengan tulang-tulang rapuh serta tiruan hasil bumi yang kasar tumpah keluar darinya.

Benang sulam yang diwarnai dengan kulit bawang, bunga rosela, dan kopi, lambat laun akan memudar. Stoples kecil berisi tanah yang menjangkar karya ini di sisi kiri dan kanan—Santubong di Barat, Sungai Asap di Timur. Manik-manik tanah liat tak berglasir dari Lawas tetap mentah dan belum selesai. Representasi kasar durian, engkabang, dan lada hitam tampak seolah digambarkan berdasarkan ingatan atau cerita, bukan dari pengalaman langsung.

Namun, tak ada yang benar-benar mati sebelum kita berhenti membicarakannya—atau menciptakannya kembali. Mungkin inilah cara saya membayangkan masa depan yang saya rindukan: masa depan di mana pengetahuan dan nilai-nilai masyarakat adat tidak hanya diakui, tetapi dihormati, hidup, dan terus menyala.”