Alia Safira

Alia Safira, seorang perupa perempuan asal Pontianak, menjadikan lukisan sebagai medium untuk merespons isu sosial, menyampaikan perasaan pribadi, dan menggambarkan dinamika kehidupan sehari-hari. Lulusan Pendidikan Seni Rupa-Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), aktif mengeksplorasi dunia lukis dengan bereksperimen menggunakan cat minyak sebagai inti kreativitas. Karya yang ditampilkan memiliki gaya lukis yang khas dan palet warna yang colorful. Ia menyukai visual yang memiliki ekspresi datar dan diam, mengajak penikmat seni untuk tenggelam dalam suasana dan emosi yang mendalam melalui sorotan mata, objek, dan komposisi visual yang ia hadirkan.

Orang Kota

Oil on Canvas

100x100 cm (2025)

Bermata sayu, memegang troli, mengantri, lalu ia berdiri di hadapan kasir sebuah swalayan. Berdiri di atas reruntuhan hutan, ia melakukan aktivitas berbelanja, transaksi, bahkan menggenggam gawai baknya manusia. Ia meletakkan tumpukan pangan yang kini harus dibeli karena mungkin hilangnya naluri sebagai arboreal dan omnivora yang menghabiskan sebagian besar waktunya di pohon, kini hancur demi pembangunan modern yang merampas dunianya. Mainan mobil-mobilan yang kini tidak lagi menyenangkan, mengingatkannya akan suara mesin yang bergema, mencengkam menghancurkan rumahnya. Alat berat menggema; mengangkut kayu, menggali tanah dan meratakan sisa-sisa akar. Penyiram tanaman yang tertinggal di dalam torli terbayangkan air yang tak lagi membahasi tanah subur. Harapan yang pudar, kini ia tak lagi melihat kesempatan untuk merayakan kehidupan. Kapak menjadi saksi atas luka hutan, dan tumpukan karung semen yang siap mengubur sisa-sisa akar di bawah beton. Jantungnya berdetak perih, meratapi kenangan dahan-dahan yang dijelajahi dan menaunginya. Apa yang sedang dipikirkan oleh sang kasir? terlihat mencurigakan. Seseorang yang menggunakan helm proyek itu tampak tenang memindai barang-barang yang tergeletak di hadapannya. Tidak adakah celah untuk tinggal? bagaimana dengan ketenangan? atau tak cukup luaskah rumahmu, tempat kerja dan hiburanmu? Di kejauhan langit terlihat indah, tanda jalan “kabur” yang tidak lagi jelas arahnya. Dengan jantung yang masih berdetak, merindukan rumah yang tak akan pernah kembali.

Orang Kota

Oil on Canvas

100x100 cm (2025)

Bermata sayu, memegang troli, mengantri, lalu ia berdiri di hadapan kasir sebuah swalayan. Berdiri di atas reruntuhan hutan, ia melakukan aktivitas berbelanja, transaksi, bahkan menggenggam gawai baknya manusia. Ia meletakkan tumpukan pangan yang kini harus dibeli karena mungkin hilangnya naluri sebagai arboreal dan omnivora yang menghabiskan sebagian besar waktunya di pohon, kini hancur demi pembangunan modern yang merampas dunianya. Mainan mobil-mobilan yang kini tidak lagi menyenangkan, mengingatkannya akan suara mesin yang bergema, mencengkam menghancurkan rumahnya. Alat berat menggema; mengangkut kayu, menggali tanah dan meratakan sisa-sisa akar. Penyiram tanaman yang tertinggal di dalam torli terbayangkan air yang tak lagi membahasi tanah subur. Harapan yang pudar, kini ia tak lagi melihat kesempatan untuk merayakan kehidupan. Kapak menjadi saksi atas luka hutan, dan tumpukan karung semen yang siap mengubur sisa-sisa akar di bawah beton. Jantungnya berdetak perih, meratapi kenangan dahan-dahan yang dijelajahi dan menaunginya. Apa yang sedang dipikirkan oleh sang kasir? terlihat mencurigakan. Seseorang yang menggunakan helm proyek itu tampak tenang memindai barang-barang yang tergeletak di hadapannya. Tidak adakah celah untuk tinggal? bagaimana dengan ketenangan? atau tak cukup luaskah rumahmu, tempat kerja dan hiburanmu? Di kejauhan langit terlihat indah, tanda jalan “kabur” yang tidak lagi jelas arahnya. Dengan jantung yang masih berdetak, merindukan rumah yang tak akan pernah kembali.